Masyarakat Indonesia
sekarang ini sebagai masyarakat yang sedang berada dalam keadaan
transisional. Mereka sekarang sedang bergerak dari masyarakat agraris
tradisional yang penuh dengan nuansa spiritualistik menuju masyarakat
industri moderen yang materialistik. Ditengah masyarakat Indonesia,
warna kehidupan masyarakat, sudah terasa dalam denyut jantung kehidupan
masyarakat, walaupun corak kehidupan agraris tradisional tidak lenyap
sama sekali. Dalam terminology keadaan Indonesia ini, dikategorikan
sebagai masyarakat yang sedang bergerak dari bentuk masyarakat yang
penuh solidaritas organik. Dalam kondisi seperti ini, kemungkinan akan
muncul fenomena kegalauan budaya pada tingkat individu dan tingkat
sosial.
Berbicara mengenai budaya konsumtif, di zaman yang super maju dalam
konteks teknologi dan sarana prasarana, masyarakat seakan terbuai di
dalamnya. Jika kita amati lingkungan sekitar kita khususnya di kota-kota
besar segala fasilitas itu sudah tersedia. Semua kebutuhan seolah sudah
tersedia untuk kita, tinggal kita mempunyai uang apa tidak untuk
membeli semua itu.
Budaya konsumtif tidak dipahami hanya sebatas makanan saja, akan tetapi
konteks budaya konsumtif sangat luas. Contohnya penggunaan listrik
berlebih karena perabotan elektronik rumah yang sangat banyak,
penggunaan air, pemakaian pulsa baik pulsa internet ataupun pulsa
telepon, pembelian brand-brand mahal sebagai wujud dari eksistensi
sosial, makanan dan minuman, dan masih banyak hal lainnya. Budaya
konsumtif juga dapat diartikan sebagai perilaku masyarakat yang
berorientasi kepada proses pemakaian atau proses mengonsumsi segala hal
yang ada pada kebutuhan mereka tanpa memedulikan klasifikasi kebutuhan
yaitu: Primer, Sekunder dan Tersier. Segalanya dapat dibeli tanpa
memikirkan sesuatu itu perlu apa tidak bagi saya. Nilai guna tidak lagi
penting di sini, nilai tanda atau sign value sebagai identitas sosial
sangat dinomor satukan. Saya tidak suka nyanyi, suara saya tidak enak
tapi saya karaokean saja, yang penting kumpul dan bisa senang-senang
walau di akhir menyesal. Seringkali kasus seperti ini ditemukan pada
masyarakat Urban atau perkotaan. Di mana segala fasilitas, bujukan media
dan kemudahan dapat diperoleh dengan mudah.
Budaya urban kini telah melekat erat pada kehidupan di kota-kota besar
di Indonesia. Gaya kehidupan yang sebelumnya tidak disebut sebagai
budaya, namun telah merambah ke semua kalangan masyarakat yang tengah
menjalani kehidupan di kota. Kota tak lagi berbudaya nenek moyang kita.
Adat-istiadat seperti tata karma yang dulu dijaga oleh generasi
pendahulu kian hari luntur oleh budaya-budaya baru yang memengaruhi
kehidupan sehari-hari. Identitas sebagai masyarakat yang berbudaya
bangsa Indonesia tidak lagi terjaga.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/ike_bintank/tingginya-budaya-konsumtif-di-tengah-arus-globalisasi-matinya-budaya-produktif_55207348813311a37419f8cf
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/ike_bintank/tingginya-budaya-konsumtif-di-tengah-arus-globalisasi-matinya-budaya-produktif_55207348813311a37419f8cf
Masyarakat Indonesia
sekarang ini sebagai masyarakat yang sedang berada dalam keadaan
transisional. Mereka sekarang sedang bergerak dari masyarakat agraris
tradisional yang penuh dengan nuansa spiritualistik menuju masyarakat
industri moderen yang materialistik. Ditengah masyarakat Indonesia,
warna kehidupan masyarakat, sudah terasa dalam denyut jantung kehidupan
masyarakat, walaupun corak kehidupan agraris tradisional tidak lenyap
sama sekali. Dalam terminology keadaan Indonesia ini, dikategorikan
sebagai masyarakat yang sedang bergerak dari bentuk masyarakat yang
penuh solidaritas organik. Dalam kondisi seperti ini, kemungkinan akan
muncul fenomena kegalauan budaya pada tingkat individu dan tingkat
sosial.
Berbicara mengenai budaya konsumtif, di zaman yang super maju dalam
konteks teknologi dan sarana prasarana, masyarakat seakan terbuai di
dalamnya. Jika kita amati lingkungan sekitar kita khususnya di kota-kota
besar segala fasilitas itu sudah tersedia. Semua kebutuhan seolah sudah
tersedia untuk kita, tinggal kita mempunyai uang apa tidak untuk
membeli semua itu.
Budaya konsumtif tidak dipahami hanya sebatas makanan saja, akan tetapi
konteks budaya konsumtif sangat luas. Contohnya penggunaan listrik
berlebih karena perabotan elektronik rumah yang sangat banyak,
penggunaan air, pemakaian pulsa baik pulsa internet ataupun pulsa
telepon, pembelian brand-brand mahal sebagai wujud dari eksistensi
sosial, makanan dan minuman, dan masih banyak hal lainnya. Budaya
konsumtif juga dapat diartikan sebagai perilaku masyarakat yang
berorientasi kepada proses pemakaian atau proses mengonsumsi segala hal
yang ada pada kebutuhan mereka tanpa memedulikan klasifikasi kebutuhan
yaitu: Primer, Sekunder dan Tersier. Segalanya dapat dibeli tanpa
memikirkan sesuatu itu perlu apa tidak bagi saya. Nilai guna tidak lagi
penting di sini, nilai tanda atau sign value sebagai identitas sosial
sangat dinomor satukan. Saya tidak suka nyanyi, suara saya tidak enak
tapi saya karaokean saja, yang penting kumpul dan bisa senang-senang
walau di akhir menyesal. Seringkali kasus seperti ini ditemukan pada
masyarakat Urban atau perkotaan. Di mana segala fasilitas, bujukan media
dan kemudahan dapat diperoleh dengan mudah.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/ike_bintank/tingginya-budaya-konsumtif-di-tengah-arus-globalisasi-matinya-budaya-produktif_55207348813311a37419f8cf
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/ike_bintank/tingginya-budaya-konsumtif-di-tengah-arus-globalisasi-matinya-budaya-produktif_55207348813311a37419f8cf
Masyarakat Indonesia
sekarang ini sebagai masyarakat yang sedang berada dalam keadaan
transisional. Mereka sekarang sedang bergerak dari masyarakat agraris
tradisional yang penuh dengan nuansa spiritualistik menuju masyarakat
industri moderen yang materialistik. Ditengah masyarakat Indonesia,
warna kehidupan masyarakat, sudah terasa dalam denyut jantung kehidupan
masyarakat, walaupun corak kehidupan agraris tradisional tidak lenyap
sama sekali. Dalam terminology keadaan Indonesia ini, dikategorikan
sebagai masyarakat yang sedang bergerak dari bentuk masyarakat yang
penuh solidaritas organik. Dalam kondisi seperti ini, kemungkinan akan
muncul fenomena kegalauan budaya pada tingkat individu dan tingkat
sosial.
Berbicara mengenai budaya konsumtif, di zaman yang super maju dalam
konteks teknologi dan sarana prasarana, masyarakat seakan terbuai di
dalamnya. Jika kita amati lingkungan sekitar kita khususnya di kota-kota
besar segala fasilitas itu sudah tersedia. Semua kebutuhan seolah sudah
tersedia untuk kita, tinggal kita mempunyai uang apa tidak untuk
membeli semua itu.
Budaya konsumtif tidak dipahami hanya sebatas makanan saja, akan tetapi
konteks budaya konsumtif sangat luas. Contohnya penggunaan listrik
berlebih karena perabotan elektronik rumah yang sangat banyak,
penggunaan air, pemakaian pulsa baik pulsa internet ataupun pulsa
telepon, pembelian brand-brand mahal sebagai wujud dari eksistensi
sosial, makanan dan minuman, dan masih banyak hal lainnya. Budaya
konsumtif juga dapat diartikan sebagai perilaku masyarakat yang
berorientasi kepada proses pemakaian atau proses mengonsumsi segala hal
yang ada pada kebutuhan mereka tanpa memedulikan klasifikasi kebutuhan
yaitu: Primer, Sekunder dan Tersier. Segalanya dapat dibeli tanpa
memikirkan sesuatu itu perlu apa tidak bagi saya. Nilai guna tidak lagi
penting di sini, nilai tanda atau sign value sebagai identitas sosial
sangat dinomor satukan. Saya tidak suka nyanyi, suara saya tidak enak
tapi saya karaokean saja, yang penting kumpul dan bisa senang-senang
walau di akhir menyesal. Seringkali kasus seperti ini ditemukan pada
masyarakat Urban atau perkotaan. Di mana segala fasilitas, bujukan media
dan kemudahan dapat diperoleh dengan mudah.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/ike_bintank/tingginya-budaya-konsumtif-di-tengah-arus-globalisasi-matinya-budaya-produktif_55207348813311a37419f8cf
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/ike_bintank/tingginya-budaya-konsumtif-di-tengah-arus-globalisasi-matinya-budaya-produktif_55207348813311a37419f8cf
Masyarakat Indonesia
sekarang ini sebagai masyarakat yang sedang berada dalam keadaan
transisional. Mereka sekarang sedang bergerak dari masyarakat agraris
tradisional yang penuh dengan nuansa spiritualistik menuju masyarakat
industri moderen yang materialistik. Ditengah masyarakat Indonesia,
warna kehidupan masyarakat, sudah terasa dalam denyut jantung kehidupan
masyarakat, walaupun corak kehidupan agraris tradisional tidak lenyap
sama sekali. Dalam terminology keadaan Indonesia ini, dikategorikan
sebagai masyarakat yang sedang bergerak dari bentuk masyarakat yang
penuh solidaritas organik. Dalam kondisi seperti ini, kemungkinan akan
muncul fenomena kegalauan budaya pada tingkat individu dan tingkat
sosial.
Berbicara mengenai budaya konsumtif, di zaman yang super maju dalam
konteks teknologi dan sarana prasarana, masyarakat seakan terbuai di
dalamnya. Jika kita amati lingkungan sekitar kita khususnya di kota-kota
besar segala fasilitas itu sudah tersedia. Semua kebutuhan seolah sudah
tersedia untuk kita, tinggal kita mempunyai uang apa tidak untuk
membeli semua itu.
Budaya konsumtif tidak dipahami hanya sebatas makanan saja, akan tetapi
konteks budaya konsumtif sangat luas. Contohnya penggunaan listrik
berlebih karena perabotan elektronik rumah yang sangat banyak,
penggunaan air, pemakaian pulsa baik pulsa internet ataupun pulsa
telepon, pembelian brand-brand mahal sebagai wujud dari eksistensi
sosial, makanan dan minuman, dan masih banyak hal lainnya. Budaya
konsumtif juga dapat diartikan sebagai perilaku masyarakat yang
berorientasi kepada proses pemakaian atau proses mengonsumsi segala hal
yang ada pada kebutuhan mereka tanpa memedulikan klasifikasi kebutuhan
yaitu: Primer, Sekunder dan Tersier. Segalanya dapat dibeli tanpa
memikirkan sesuatu itu perlu apa tidak bagi saya. Nilai guna tidak lagi
penting di sini, nilai tanda atau sign value sebagai identitas sosial
sangat dinomor satukan. Saya tidak suka nyanyi, suara saya tidak enak
tapi saya karaokean saja, yang penting kumpul dan bisa senang-senang
walau di akhir menyesal. Seringkali kasus seperti ini ditemukan pada
masyarakat Urban atau perkotaan. Di mana segala fasilitas, bujukan media
dan kemudahan dapat diperoleh dengan mudah.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/ike_bintank/tingginya-budaya-konsumtif-di-tengah-arus-globalisasi-matinya-budaya-produktif_55207348813311a37419f8cf
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/ike_bintank/tingginya-budaya-konsumtif-di-tengah-arus-globalisasi-matinya-budaya-produktif_55207348813311a37419f8cf
Masyarakat Indonesia
sekarang ini sebagai masyarakat yang sedang berada dalam keadaan
transisional. Mereka sekarang sedang bergerak dari masyarakat agraris
tradisional yang penuh dengan nuansa spiritualistik menuju masyarakat
industri moderen yang materialistik. Ditengah masyarakat Indonesia,
warna kehidupan masyarakat, sudah terasa dalam denyut jantung kehidupan
masyarakat, walaupun corak kehidupan agraris tradisional tidak lenyap
sama sekali. Dalam terminology keadaan Indonesia ini, dikategorikan
sebagai masyarakat yang sedang bergerak dari bentuk masyarakat yang
penuh solidaritas organik. Dalam kondisi seperti ini, kemungkinan akan
muncul fenomena kegalauan budaya pada tingkat individu dan tingkat
sosial.
Berbicara mengenai budaya konsumtif, di zaman yang super maju dalam
konteks teknologi dan sarana prasarana, masyarakat seakan terbuai di
dalamnya. Jika kita amati lingkungan sekitar kita khususnya di kota-kota
besar segala fasilitas itu sudah tersedia. Semua kebutuhan seolah sudah
tersedia untuk kita, tinggal kita mempunyai uang apa tidak untuk
membeli semua itu.
Budaya konsumtif tidak dipahami hanya sebatas makanan saja, akan tetapi
konteks budaya konsumtif sangat luas. Contohnya penggunaan listrik
berlebih karena perabotan elektronik rumah yang sangat banyak,
penggunaan air, pemakaian pulsa baik pulsa internet ataupun pulsa
telepon, pembelian brand-brand mahal sebagai wujud dari eksistensi
sosial, makanan dan minuman, dan masih banyak hal lainnya. Budaya
konsumtif juga dapat diartikan sebagai perilaku masyarakat yang
berorientasi kepada proses pemakaian atau proses mengonsumsi segala hal
yang ada pada kebutuhan mereka tanpa memedulikan klasifikasi kebutuhan
yaitu: Primer, Sekunder dan Tersier. Segalanya dapat dibeli tanpa
memikirkan sesuatu itu perlu apa tidak bagi saya. Nilai guna tidak lagi
penting di sini, nilai tanda atau sign value sebagai identitas sosial
sangat dinomor satukan. Saya tidak suka nyanyi, suara saya tidak enak
tapi saya karaokean saja, yang penting kumpul dan bisa senang-senang
walau di akhir menyesal. Seringkali kasus seperti ini ditemukan pada
masyarakat Urban atau perkotaan. Di mana segala fasilitas, bujukan media
dan kemudahan dapat diperoleh dengan mudah.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/ike_bintank/tingginya-budaya-konsumtif-di-tengah-arus-globalisasi-matinya-budaya-produktif_55207348813311a37419f8cf
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/ike_bintank/tingginya-budaya-konsumtif-di-tengah-arus-globalisasi-matinya-budaya-produktif_55207348813311a37419f8cf
Terbaru
Headline
Rubrik
Event
Masuk
Tingginya budaya konsumtif di tengah arus globalisasi " Matinya budaya
produktif "
10 Mei 2013 15:23:38 Diperbarui: 24 Juni 2015 13:48:21 Dibaca : 1,653
Komentar : 0 Nilai : 0
Masyarakat Indonesia sekarang ini sebagai masyarakat yang sedang berada
dalam keadaan transisional. Mereka sekarang sedang bergerak dari
masyarakat agraris tradisional yang penuh dengan nuansa spiritualistik
menuju masyarakat industri moderen yang materialistik. Ditengah
masyarakat Indonesia, warna kehidupan masyarakat, sudah terasa dalam
denyut jantung kehidupan masyarakat, walaupun corak kehidupan agraris
tradisional tidak lenyap sama sekali. Dalam terminology keadaan
Indonesia ini, dikategorikan sebagai masyarakat yang sedang bergerak
dari bentuk masyarakat yang penuh solidaritas organik. Dalam kondisi
seperti ini, kemungkinan akan muncul fenomena kegalauan budaya pada
tingkat individu dan tingkat sosial.
Berbicara mengenai budaya konsumtif, di zaman yang super maju dalam
konteks teknologi dan sarana prasarana, masyarakat seakan terbuai di
dalamnya. Jika kita amati lingkungan sekitar kita khususnya di kota-kota
besar segala fasilitas itu sudah tersedia. Semua kebutuhan seolah sudah
tersedia untuk kita, tinggal kita mempunyai uang apa tidak untuk
membeli semua itu.
Budaya konsumtif tidak dipahami hanya sebatas makanan saja, akan tetapi
konteks budaya konsumtif sangat luas. Contohnya penggunaan listrik
berlebih karena perabotan elektronik rumah yang sangat banyak,
penggunaan air, pemakaian pulsa baik pulsa internet ataupun pulsa
telepon, pembelian brand-brand mahal sebagai wujud dari eksistensi
sosial, makanan dan minuman, dan masih banyak hal lainnya. Budaya
konsumtif juga dapat diartikan sebagai perilaku masyarakat yang
berorientasi kepada proses pemakaian atau proses mengonsumsi segala hal
yang ada pada kebutuhan mereka tanpa memedulikan klasifikasi kebutuhan
yaitu: Primer, Sekunder dan Tersier. Segalanya dapat dibeli tanpa
memikirkan sesuatu itu perlu apa tidak bagi saya. Nilai guna tidak lagi
penting di sini, nilai tanda atau sign value sebagai identitas sosial
sangat dinomor satukan. Saya tidak suka nyanyi, suara saya tidak enak
tapi saya karaokean saja, yang penting kumpul dan bisa senang-senang
walau di akhir menyesal. Seringkali kasus seperti ini ditemukan pada
masyarakat Urban atau perkotaan. Di mana segala fasilitas, bujukan media
dan kemudahan dapat diperoleh dengan mudah.
Budaya urban kini telah melekat erat pada kehidupan di kota-kota besar
di Indonesia. Gaya kehidupan yang sebelumnya tidak disebut sebagai
budaya, namun telah merambah ke semua kalangan masyarakat yang tengah
menjalani kehidupan di kota. Kota tak lagi berbudaya nenek moyang kita.
Adat-istiadat seperti tata karma yang dulu dijaga oleh generasi
pendahulu kian hari luntur oleh budaya-budaya baru yang memengaruhi
kehidupan sehari-hari. Identitas sebagai masyarakat yang berbudaya
bangsa Indonesia tidak lagi terjaga.
Tuntutan zaman yang semakin maju mau tak mau membuat masyarakat juga
ikut mengikutinya. Karena asumsi publik mengatakan jika orang itu tidak
mengikuti trendsetter maka dia akan dianggap Katrok atau ketinggalan
zaman. Hal itulah yang membuat masyarakat mau tidak mau harus mengikuti
pola hidup yang seperti itu.
Menurut Janianton Damanik, Mengapa budaya konsumtif mereka menggelora?
Jawabnya ada pada faktor kendali diri dan daya kritik yang majal.
Terbentuknya kelas menengah di negeri ini ternyata tidak melahirkan
kelompok masyarakat kritis.
Kalau boleh disebut, mereka adalah kelas menengah yang secara
psikososial sangat labil dan permisif. Ciri-cirinya, antara lain, mudah
terpengaruh, lekas berpuas diri, alergi bernalar, dan suka dipuji. Bukan
kebetulan, pemeo the consumer is king cocok benar dengan karakter
tersebut. Sebab, hanya dengan menjadi pembelilah mereka merasa jadi
raja. Sayang, itu cuma perasaan belaka. Faktanya, konsumen yang tak
kritis hanya menjadi budak nafsu konsumtifnya sendiri.
Berkonsumsi tentu merupakan proses yang netral dan tak bisa dihindari,
namun apabila dilakukan secara berlebihan akan melahirkan gaya hidup
konsumtif. Menurut Prehati (2003), konsumtivisme adalah berkonsumsi
dengan tidak lagi atas pilihan yang rasional berdasarkan kebutuhan,
tetapi lebih memperturutkan keinginannya. Lebih jauh, dalam budaya
konsumtif terjadi kerancuan-kerancuan mengenai apa yang benar-benar
diperlukan dan mana yang sekadar kebutuhan semu.
Pada banyak kasus, perilaku konsumtif kelas menengah tidak didasarkan
lagi pada needed theory, yang menedepankan kebutuhan-kebutuhan dasar
yang memang harus dipenuhi. Namun sekarang bergeser pada peraktik
perilaku konsumsi yang didsarkan pada rasa keinginan semata, yang
pastinya gengsi mejadi salah satu pendorong perilaku konsumtif
tersebut. Maka tak heran ketika melihat grafik investasi dan saving
selalu bergerak turun dari waktu ke waktu. Dan hal yang paling
diresahkan oleh pemerintah adalah harus menyadari bahwa masyarakat
indonesia termasuk dalam kategori penggemar berat barang import dalam
hal elektronik, fashion dll.
Masyarakat urban sebagian besar tidak menyadari bahwa dirinya berada
pada komoditas kaum penguasa, karena kaum penguasa menginternalisasi
pemikiran mereka secara halus melalui berbagai institusi dan media yang
ada, seperti media elektronik dan media massa. Masyarakat urban seakan
sudah terbiasa terbentuk melalui habitus perkotaan yang gemerlap dan
konsumtif, hedonis. Alam bawah sadar adalah kondisi manusia pada luar
kesadarannya, yang bisa dipengaruhi atau dibentuk melalui cara habituasi
yang melibatkan sebagian besar masyarakat, sehingga per individu tidak
merasakannya secara langsung. Bagi orang yang bisa menguasai
kesadarannya dia bisa meredam sepak terjang dari permainan kapitalisme
ini, dan mungkin mengentaskannya dari budaya kapitalisme yaitu
kerja-kerja dan kerja.
Tujuan dari kaum kapitalis adalah memperoleh keuntungan
sebanyak-banyaknya dengan memasarkan produk mereka ke masyarakat dan
mengatur strategi sedemikian rupa agar masyarakat dapat terlelap dalam
budaya konsumtif ini.
Faktor penyebab budaya konsumtif di lingkup masyarakat urban menurut
pendapat saya ada beberapa hal, dan berikut saya akan memaparkanya
sedikit:
1. Kepenatan yang dialami masyarakat membuat mereka jenuh dan
mengarahkannya pada kegiatan yang sifatnya dapat merefresh kepenatan
mereka, dan hal itu membuat mereka kembali terjerumus dalam budaya
konsumtif. Misalkan untuk menghilangkan penat mereka pergi ke mall,
walau sekedar melihat-lihat mau tidak mau pasti pulang tidak akan
membawa tangan kosong kebanyakan.
2. Gengsi / wujud dari eksistensi sosial. Karena tidak ingin dianggap
rendah kebanyakkan orang lebih memilih terbawa arus perkembangan zaman
walau itu menjurus ke hal yang membuat mereka menyesal di akhirnya.
Misalkan terlalu mengikuti perkembangan gadged dan selalu ingin update,
setiap ada brand baru brand yang lama dijual untuk mendapatkan brand
yang baru, demi memenuhi ego dan gengsi semata.
3. Mayoritas mempengaruhi minoritas. Yang dimaksud di sini adalah,
ketika suatu komunitas besar atau sebagian besar masyarakat mengkonsumsi
atau menggunakan barang atau sebagainya dan itu di publis secara tidak
langsung minoritas ini akan terpengaruh dan ikut menggunakannya.
4. Media, peran media sangat berpengaruh dalam menimbulkan budaya
konsumtif ini. Entah itu media massa atau pun elektronik mereka sangat
mampu mempengaruhi masyarakat untuk membeli setiap produk yang di
iklankan, dengan tawaran yang belum tentu benar dan segala keuntungannya
masyarakat pasti banyak yang terpengaruh oleh iklan itu. Karena hakikat
dari sebuah iklan adalah memberikan sugesti atau pengaruh terhadap
penontonnya untuk membeli produknya.
Dari hal tersebut saja kita sudah bisa menilai bahwa manusia konsumtif
sudah tidak bisa membedakan antara kebutuhan dan keinginan . Semua tidak
ditepatkan pada fungsinya, hanya eksistensi semata yang kebanyakan
diburu dan masyarakat menikmati hal itu. Inilah yang disebut pada
filsafat marx yaitu kesadaran palsu, semua terjebak dalam kurungan
kapitalis yang mematikan budaya produktif. Sayang masih banyak
masyarakat yang tak sadar akan hali ini.
Wabah budaya konsumtif sangat mencemaskan. Bukan karena ia terkait
dengan persoalan etika dan rapuhnya karakter anak bangsa. Hal yang
berbahaya adalah ketergantungan pada barang-barang impor yang niscaya
akan mematikan pasar produk lokal. Taruhannya adalah daya tahan
perekonomian nasional. Budaya konsumtif jadi bentuk undangan terbuka
bagi kapitalisme global untuk leluasa menyetir pola pikir, gaya hidup,
selera, bahkan ideologi kelas menengah kita sesuai dengan nilai yang
melekat pada barang yang mereka hasilkan.
Melihat ancaman besar seperti itu, tampaknya harus dicari jurus jitu
untuk meredam penyebaran budaya konsumtif tadi. Jika tidak, kita harus
rela menerima kenyataan jadi bangsa yang kehilangan jati diri (Kompas
24/12/2011).
Memang tidak mudah terhindar dari pola hidup konsumtif. Namun harus
disadari pola hidup konsumtif itu sangat merugikan, baik bagi diri
sendiri maupun bagi negara. Jadi sebagai masyarakat yang baik terapkan
hidup positif dan jangan biarkan diri kita menjadi manusia yang
konsumtif.
Elok Ike Setiawati
/ike_bintank
otak ini tak pernah berhenti untuk terus bekerja, memikirkan sesuatu yg
layaknya untuk segera dituntaskan...beradu kata dan menjadi sepenggal
kalimat yang ingin dituangkan dalam sebuah tulisan....*mencoba mengukir
tintah*
Selengkapnya...
IKUTI
Share
0
0
0
KOMPASIANA ADALAH MEDIA WARGA, SETIAP KONTEN DIBUAT OLEH DAN MENJADI
TANGGUNGJAWAB PENULIS.
LABEL urban lifestyle
TANGGAPI DENGAN ARTIKEL
RESPONS : 0
NILAI : 0
Beri Nilai
Headline
1
Bagaimana Cara Menemukan Tersangka Pembunuh Mirna?
Reza aka Fadli Zontor
24 Januari 2016
2
Berteriaklah di Sudut Pidato!
Muhammad Natsir Tahar
24 Januari 2016
3
Telepon Umum Koin, Riwayatmu Kini
Casmudi
24 Januari 2016
4
Wisata Spiritual Ada di Sekeliling Kita
TJIPTADINATA EFFENDI
24 Januari 2016
5
Dorce Masuk Istana Presiden, LGBT Dilarang Masuk Kampus Karena SGRC di
UI dan UIN
Ninoy N Karundeng
24 Januari 2016
Nilai Tertinggi
Sianida Harganya Cuma Rp 38.700 per Gram tetapi Mematikan
Indira Revi
24 Januari
Mitra Kukar Juara Piala Sudirman karena Dukungan Golkar?
Pebrianov
24 Januari
Pengalaman Memberi Penyuluhan Kesehatan Masyarakat “Marginal” Amerika
Serikat
Evi Erlinda
25 Januari
Kau Masih Gadis atau Sudah Janda?
Thamrin Sonata
25 Januari
Germo dan Turis Arab
Ragile (Agil)
25 Januari
Terpopuler
Mengapa Tak Ada Kesedihan di Wajah Jessica?
Dewi Nurbaiti (DNU)
24 Januari
Jokowi atau Luhut atau JK Sebenarnya Yang Merestui Kubu Ical?
Reza aka Fadli Zontor
24 Januari
JK Akbar dalam Pusaran Beringin
webe
24 Januari
Golkar Akan Dukung Jokowi Setulus Hati, Apa-apan Ini?
Pebrianov
24 Januari
Blog Bahrun Naim Tantang Cyber Crime Polri
webe
24 Januari
Tren di Google
Bagaimana Cara Menemukan Tersangka Pembunuh Mirna?
Reza aka Fadli Zontor
24 Januari 2016
7 Falsafah (Unik) Orang Manado yang (Tidak) Perlu Anda Tiru
Rumah Kayu
23 Oktober 2013
Catatan Mencekamnya Gerhana Matahari Total 1983
Anto Wiyono
24 Januari 2016
25 Januari, Selamat Hari Gizi Indonesiaku!
Listhia H Rahman
25 Januari 2015
Kau Masih Gadis atau Sudah Janda?
Thamrin Sonata
25 Januari 2016
Gres
Dika
Luthfi Merasa
24 Januari
Borobudur, ‘Kota Kecil’ dengan Budaya dan Alamnya yang Eksotis
Novina Yuniarti
24 Januari
Antisocial Personality Disorder
ayu nisyia
24 Januari
Problematisasi Masalah (Problematizing dan Problem Solving)
Saidna Zulfiqar
24 Januari
Gangguan Voyeurisme
Dwi Bagus Gotama
24 Januari
Tentang Kompasiana Syarat & Ketentuan
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/ike_bintank/tingginya-budaya-konsumtif-di-tengah-arus-globalisasi-matinya-budaya-produktif_55207348813311a37419f8c
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/ike_bintank/tingginya-budaya-konsumtif-di-tengah-arus-globalisasi-matinya-budaya-produktif_55207348813311a37419f8c
Pada saat ini masyarakat
Indonesia dapat dikatakan sebagai masyarakat yang sedang berada dalam keadaan
transisional. Mereka sekarang sedang bergerak dari masyarakat agraris
tradisional yang penuh dengan nuansa spiritualistik menuju masyarakat industri
moderen yang materialistik. Ditengah masyarakat Indonesia, warna kehidupan
masyarakat, sudah terasa dalam denyut jantung kehidupan masyarakat, walaupun
corak kehidupan agraris tradisional tidak lenyap sama sekali. Dalam terminology
keadaan Indonesia ini, dikategorikan sebagai masyarakat yang sedang bergerak
dari bentuk masyarakat yang penuh solidaritas organik. Dalam kondisi seperti
ini, kemungkinan akan muncul fenomena kegalauan budaya pada tingkat individu
dan tingkat sosial.
Berbicara mengenai budaya konsumtif, di zaman yang super
maju dalam konteks teknologi dan sarana prasarana, masyarakat seakan terbuai di
dalamnya. Jika kita amati lingkungan sekitar kita khususnya di kota-kota besar
segala fasilitas itu sudah tersedia. Semua kebutuhan seolah sudah tersedia
untuk kita, tinggal kita mempunyai uang apa tidak untuk membeli semua itu.
Budaya konsumtif tidak dipahami hanya sebatas makanan saja, akan tetapi konteks
budaya konsumtif sangat luas.
Pendapat Pribadi:
Faktor penyebab budaya konsumtif di
lingkup masyarakat urban menurut pendapat saya ada beberapa hal, dan berikut
saya akan memaparkanya sedikit:
- Kepenatan yang dialami masyarakat membuat mereka jenuh dan mengarahkannya pada kegiatan yang sifatnya dapat merefresh kepenatan mereka, dan hal itu membuat mereka kembali terjerumus dalam budaya konsumtif. Misalkan untuk menghilangkan penat mereka pergi ke mall, walau sekedar melihat-lihat mau tidak mau pasti pulang tidak akan membawa tangan kosong kebanyakan.
- Gengsi / wujud dari eksistensi sosial. Karena tidak ingin dianggap rendah kebanyakkan orang lebih memilih terbawa arus perkembangan zaman walau itu menjurus ke hal yang membuat mereka menyesal di akhirnya. Misalkan terlalu mengikuti perkembangan gadged dan selalu ingin update, setiap ada brand baru brand yang lama dijual untuk mendapatkan brand yang baru, demi memenuhi ego dan gengsi semata.
- Mayoritas mempengaruhi minoritas. Yang dimaksud di sini adalah, ketika suatu komunitas besar atau sebagian besar masyarakat mengkonsumsi atau menggunakan barang atau sebagainya dan itu di publis secara tidak langsung minoritas ini akan terpengaruh dan ikut menggunakannya.
- Media, peran media sangat berpengaruh dalam menimbulkan budaya konsumtif ini. Entah itu media massa atau pun elektronik mereka sangat mampu mempengaruhi masyarakat untuk membeli setiap produk yang di iklankan, dengan tawaran yang belum tentu benar dan segala keuntungannya masyarakat pasti banyak yang terpengaruh oleh iklan itu. Karena hakikat dari sebuah iklan adalah memberikan sugesti atau pengaruh terhadap penontonnya untuk membeli produknya.
Ada beberapa solusi yang bisa ditempuh untuk menekan pola hidup konsumtif agar tidak membudaya di Indonesia.
Pertama, makin mencitai produk dalam negeri. Gerakan mencintai produk dalam negeri seperti dikampanyekan Menteri Perdagangan, Gita Wirjawan harus diikuti tindakan nyata, yakni malu menggunakan produk impor. Artinya pejabat negara harus memberi contoh agar rakyatnya mengikuti. Kunjungan kerja, studi banding dan berobat atau melakukan tindakan medis tak harus ke luar negeri. Apalagi jika sifatnya sangat pribadi, misalnya liburan keluarga. Sebab, dengan perjalanan ke luar negeri, lazimnya berbelanja produk impor di negara yang dikunjungi.
Kedua, pemerintah harus mengurangi komoditas impor, di antaranya dengan menaikkan berkali lipat pajak barang mewah impor.
Ketiga, merangsang masyarakat menciptakan produk buatan dalam negeri dengan memberi fasilitas dan kemudahan perizinan, permodalan dan pengembangan pasar.
Memang
tidak mudah terhindar dari pola hidup konsumtif. Namun harus disadari pola
hidup konsumtif itu sangat merugikan, baik bagi diri sendiri maupun bagi
negara. Jadi sebagai masyarakat yang baik terapkan hidup positif dan jangan
biarkan diri kita menjadi manusia yang konsumtif.
Sumber:
http://www.kompasiana.com/ike_bintank/tingginya-budaya-konsumtif-di-tengah-arus-globalisasi-matinya-budaya-produktif_55207348813311a37419f8cf